Filsuf Yang Mencari Allah
Yustinus Martir, seorang filsuf muda pada abad kedua, mendengarkan dengan baik pidato seorang lain yang berpendidikan baik.“Orang-orang yang menjadi pengikut orang Nazaret yang mati itu adalah orang-orang bodoh yang percaya kepada takhyul,” kata si ahli pidato itu. “Yang mereka puja tak lain hanya awan-awan dan pengaruh bintang. Saya kira mereka merupakan ancaman bagi kekaisaran ini.” Orang-orang yang berkumpul di sana dalam bentuk lingkaran itu menganggukkan kepala. Namun Yustinus tidak begitu cepat menyetujui. “Saya tidak begitu yakin akan hal itu,” ia memberi komentar. “Mereka sangat tulus. Saya telah mendengar tentang orang-orang Kristen yang mengakui iman mereka, walaupun mereka tahu mereka akan dilemparkan ke dalam ketel yang berisi minyak yang mendidih demi keyakinan mereka.”
Satu di antara orang-orang itu tertawa terkekeh-kekeh. “Yustinus, kamu tidak akan menjadi orang Kristen, bukan?”
“Saya ingin mengetahui kebenaran,” Yustinus menjawab dengan tenang. Sejak masa kanak-kanaknya, Yustinus telah mencari-cari. Ia telah mewarisi kekayaan yang cukup besar yang membiayai perjalanannya ke seluruh pelosok kekaisaran Romawi. Ia menjadi seorang wisatawan yang dikenal sepanjang jalan-jalan dagang. Ke mana pun ia pergi untuk mencari pengetahuan dan kebenaran, ia melihat keteguhan iman orang-orang Kristen yang dihina itu. “Apa yang terpenting dalam hidup ini?” Yustinus bertanya kepada seorang guru yang beraliran Stoa. Orang-orang dari aliran Stoa percaya bahwa dunia merupakan tubuh Allah. Orang itu menjawab, “Carilah kebajikan.” Seorang pengikut Plato menasihati Yustinus untuk melarikan diri dari dunia dan dengan cara ini ia akan menjadi seperti Allah, dengan kembali ke dunia roh semata-mata. Tetapi walau bagaimana pun Yustinus mencoba, ia tak dapat manahan keinginan-keinginan jasmaniahnya. Ia menerima nasihat dari guru-guru ternama lainnya, tetapi tak seorang pun memberikan jawaban yang memuaskan kepadanya. Ia berulang-ulang bertanya kepada dirinya sendiri, Di mana arti kehidupan ini? Di manakah Allah, seandainya ada Allah?
Ia memikirkan lagi tentang orang-orang Kristen yang berani yang diketahuinya itu. Pada saat itu, agama Kristen adalah agama yang tidak sah dalam kekaisaran Romawi. Beribu-ribu orang telah mati sebagai martir. Yustinus telah merasa pasti bahwa orang-orang Kristen itu tidak bersalah. Ia merasa bahwa mereka mungkin saja tersesat, tetapi mereka pasti tidak jahat.
Pada suatu hari filsuf yang sedang mencari Tuhan itu pergi berjalan-jalan dalam suatu ladang yang sunyi dekat kota Efesus. Sementara ia berjalan, ia tahu bahwa seorang laki-laki tua mengikutinya di belakang. Tiba-tiba ia membalik dan berhadapan dengan orang asing itu. “Mengapa Anda menatap saya?” orang tua itu bertanya. “Saya merasa heran menemui orang lain di ladang yang sunyi ini,” jawab Yustinus.
“Saya ada di sini untuk mencari seorang anggota keluarga saya. Tetapi mengapa Anda ada di sini?” orang tua itu bertanya dengan sangsi.
“Untuk menguji akal saya.”
“Apakah filsafat memberikan kebahagiaan kepada seseorang?” “Ya,” Yustinus menjawab. Tetapi nada suaranya tidak pasti. “Jelaskan pada saya, Anak Muda. Apa filsafat dan kebahagiaan itu?” Yustinus memberikan jawaban biasa, “Filsafat adalah pengetahuan yang lengkap akan realitas dan daya memahami kebenaran dengan jelas. Kebahagiaan adalah upah dari pengetahuan dan kebijaksanaan seperti itu.” “Apakah definisi Anda mengenal Allah?” orang tua itu bertanya. Sekali lagi Yustinus menggunakan jawaban lancar yang pernah diajarkan kepadanya: Allah itu merupakan sebab yang tidak berubah bagi segala hal lainnya. “Lalu dapatkah seseorang mengenal Allah tanpa mendengar dari seseorang yang telah melihat-Nya? Bagaimanakah filsuf-filsuf, yang tidak pernah melihat Dia itu, dapat membuat penilaian yang benar?” Yustinus menjawab dengan mengutip Plato, “Allah hanya dapat dikenal dengan pikiran, dan hanya pada saat pikiran itu murni dan terang.” Orang tua itu tidak terkejut. “Ada guru-guru pada zaman kuno yang berbicara dengan Roh Ilahi dan meramalkan masa akan datang. Mereka membuktikan diri dengan ramalan-ramalan dan keajaiban-keajaiban mereka.” Yustinus menatap dengan aneh kepada orang tua itu. Ia tidak dapat memberi jawaban. “Saya harap, Anakku, pintu gerbang cahaya akan terbuka bagi Anda. Hal-hal ini dapat dimengerti hanya oleh orang yang diberi hikmat oleh Allah dan Kristus.”
Yustinus tidak pernah bertemu lagi dengan orang asing yang tua itu. Beberapa waktu kemudian ia menyebutkan peristiwa itu dan menulis: “Dengan segera nyala api berkobar dalam hati saya dan kasih…orang-orang yang menjadi sahabat-sahabat Kristus ini menguasai saya. Menurut pendapat saya filsafat itu sendiri aman dan berfaedah. Lebih-lebih lagi, saya berharap bahwa semua orang…tidak akan menjauhkan diri mereka dari…Juruselamat.” Pada saat ia percaya bahwa agama Kristen adalah satu-satunya filsafat yang benar, Yustinus pergi mengabarkan tentang Kristus kepada filsuf-filsuf lainnya. Setelah ia dibaptiskan, ia menjadi seorang guru yang mengembara. Ia mengunjungi persekutuan-persekutuan Kristen yang pertama di tempat-tempat terkenal, seperti: Efesus, Iskandaria, dan Roma. Ia mempergunakan karangannya untuk menantang ahli-ahli kritik dan penganiaya-penganiaya orang-orang Kristen. Pada masa sekarang, hampir 1800 tahun kemudian, karangannya yang disebut Apologies dianggap sebagai tulisan klasik dalam kesusasteraan Kristen. Yustinus sendiri dianggap sebagai pembela orang-orang Kristen atau agama Kristen yang terbesar. Tak dapat dielakkan lagi Yustinus harus menentang orang-orang Romawi dan ditangkap karena pengajarannya. Pada tahun 163 dia dan beberapa orang Kristen lainnya dihadapkan ke Rustikus, kepala daerah Roma. Yustinus dan sahabat-sahabatnya dengan berani mengakui iman mereka dan menolak untuk memberikan korban kepada dewa-dewa berhala; mereka dipenggal. Setelah kematiannya, filsuf yang terkemuka itu menjadi terkenal sebagai Yustinus Martir. Teladannya yang sangat baik menjadi inspirasi bagi orang-orang Kristen di kemudian hari yang bersedia mati sebagai martir oleh karena mereka memilih untuk mengikut orang Nazaret yang dianggap hina itu, yaitu Yesus Kristus.
Sumber : Bagaimana Tokoh-tokoh Kristen Bertemu dengan Kristus
Oleh : James C Hefley
Diterjemahkan oleh : Junny J. Suliman
Penerbit : Kalam Hidup, Bandung Dengan seijin penerbit
Komentar