Kidult membooming di Indonesia? ah yang bener...

hy guys, whats up? guys, gw nemu nih satu artikel dari majalah femina tentang kidult.. apa sih kidult? Mengutip situs Wikipedia nih, istilah kidult (baca: Kidalt dari kata kid dan adult) pertama kali muncul pada akhir dekade ’80-an, diperkenalkan oleh psikolog Jim Ward-Nichols dari Stevens Institute of Technology di Hoboken, New Jersey, Amerika Serikat (AS). Kidult itu sebutan buat orang-orang usia 20 tahun ke atas yang masih enjoy menikmati budaya kanak-kanak atau remaja belasan, baik secara fisik (penampilan), gaya hidup, maupun pemikiran, yang sesungguhnya udah nggak cocok lagi buat usia mereka.



kidult? example nih, ada wanita usia 40 tahun n dia masih senang memakai blus berpita pink, atau mengenakan celana hipster yang bikin pusernya keliatan. Atau, pria 35 tahun yang masih suka maen playstation atau baca komik superhero. Atau, mereka yang ‘takut’ menikah cumen karena nggak mau memikul tanggung jawab yang besar. Atau, kalaupun berani menikah, mereka tetap bergantung hidup pada orang tua. Singkat kata nih guys, mereka adalah orang-orang yang ‘menolak’ jadi dewasa karena nggak mau kehilangan zona nyaman sebagai kanak-kanak, yang biasanya tak dituntut tanggung jawab besar.

Harian The New York Times, edisi 31 Agustus 2003, pernah memuat tulisan investigatif tentang makin maraknya fenomena kidult di AS, juga di dunia. Di antaranya, mengutip hasil riset Nielsen Media, makin banyak saja orang dewasa usia 18-49 yang menonton saluran Cartoon Network ketimbang CNN. Lebih dari 35.000 orang meng­akses website Classmate.com untuk menghubungi teman-teman lama mereka semasa di sekolah (“Membuat saya serasa berumur 16 tahun lagi,” begitu alasan salah satu responden). Usia penggemar game di komputer juga meningkat. Bila di tahun 1990 umumnya berusia 19 tahun, maka di tahun 2003, usia rata-rata mereka 29 tahun.

Dalam situs Med Magazine, mengutip tulisan yang dimuat harian Inggris, The Independent, ada sejumlah sebutan bagi fenomena kidult ini, antara lain: middlescent, middle-youth, adultscent, Peter Pans, grups (singkatan dari grown –ups), dan permayouth.
Istilah yang terakhir ini diperkenalkan oleh Dr. Eileen Bradbury, konsultan psikiatris dari Inggris yang biasa menangani pasien-pasien operasi plastik. Dr. Bradbury bilang, banyak pasiennya yang terobsesi untuk tampil muda, sehingga menjadi pasien adiktif operasi plastik. “Mereka begitu takut menghadapi penuaan, yang sesungguhnya bersifat alamiah, sehingga tak henti berusaha merestorasi penampilan agar tetap terlihat muda,” ujar Dr. Bradbury.

Alex Morgan, seorang pengamat keuangan dari Inggris, dalam situs HomeLifestyleFinance News, menuliskan, generasi kidult sebenarnya sudah dimulai sejak generasi baby boom (akhir ’60-an). Namun, baru sepuluh tahun terakhir ini kehadiran mereka mulai signifikan. Menurut Morgan nih, ada beberapa hal yang ikut memberi pengaruh orang jadi kidult. Mulai dari kondisi perekonomian yang mapan (bagi generasi orang tua mereka), lapangan kerja yang makin kompetitif (bagi kaum muda), harga-harga yang makin mahal, hingga gaya hidup yang makin hedonistis. Alhasil, ayah dan ibu kerap dijadikan ‘bank pribadi’ bagi anak-anak mereka yang ‘merasa’ kurang beruntung.

Di Australia, fenomena kidult juga melanda generasi muda mereka, setidaknya menurut penulis Katrina Blowers dalam artikelnya di majalah Madison edisi September 2007. Mengutip pernyataan seorang ahli kependudukan di Australia, Bernard Salt, generasi kidult itu mereka yang berusia 25 tahun ke atas, menunda perkawinan, menunda punya anak, menunda membeli rumah, lebih memilih bertualang ke seluruh penjuru dunia ketimbang hidup mapan, memperlakukan karier dan relationship sebagai ajang coba-coba, mengikat diri dalam kelompok kecil pertemanan, dan membelanjakan uang seolah kiamat sudah dekat. Karakteristik seperti itulah, menurut Salt, yang sekarang ini melanda kaum muda dan dewasa Australia. wedew... ^^

KELUARGA BESAR BERPERAN PENTING

Bagaimana dengan di Indonesia? Menurut sosiolog V. Sundari Han­doko, fenomena tersebut mungkin saja terjadi di negara tercinta ini, meski belum ada penelitian khusus. Walaupun begitu, ia beranggapan, penyebabnya tak semata hal-hal yang telah disebutkan tadi.

Dalam budaya Barat, seorang anak biasanya sudah keluar dari rumah orang tua begitu mereka mendapat pekerjaan, bahkan ada yang sejak mulai kuliah. Jadi, kalau belakangan terjadi perubahan, mereka memang pantas mencatat fenomena itu.

“Tapi, di Indonesia, sejak dulu hingga kini masih berlaku konsep keluarga besar (extended family), dengan karakteristik komunal dan memiliki ikatan emosional yang tinggi satu sama lain. Dalam ikatan keluarga besar ini, setiap anggota keluarga punya kewajiban untuk saling membantu. Dan, karena biasanya orang tua yang lebih mapan (baik secara ekonomi maupun pengalaman hidup), maka orang tualah yang lebih sering membantu anaknya. Karena itu, untuk budaya Indonesia, anak yang masih bergantung pada orang tua (meski sudah dewasa bahkan menikah), bukanlah fenomena baru,” ujar Sundari.

Ironisnya nih guys, di sisi lain, sebagai keluarga besar (misalnya trah atau marga), mereka juga saling berkompetisi. Alhasil, kalau ada seorang anak yang terlibat kesulitan, biasanya orang tua akan sebisanya mem­bantu. Karena, kalau si anak dibiarkan gagal, hal itu bisa menjadi aib di mata keluarga besar.

“Jadi, kalaupun di Indonesia terjadi fenomena kidult, penyebab utamanya lebih karena ketidakmandirian dan kemanjaan si anak,” tegas Sundari. Meski sekarang ini makin banyak orang tua yang ‘berani’ melepas anak-anak mereka sekolah ke luar kota atau bahkan ke luar negeri, hal itu nggak selalu berarti si anak lantas menjadi lebih mandiri. Tak jarang nih, orang tua menyediakan rumah kontrakan yang nyaman bagi anaknya di kota tempat si anak belazarr, pembantu, selalu mengirim uang setiap kali si anak kehabisan uang, menengoknya nyaris setiap minggu, dan menelepon tiga kali sehari. enak kalii.. hahhaa.. tp ini real lhoo...

Sundari menambahkan, faktor ekonomi sering menjadi penentu utama kemandirian seseorang. Karenanya, ia nggak setuju bahwa orang desa dianggap kurang mandiri dibanding orang kota, hanya karena ikatan kekeluargaan di desa dianggap masih lebih erat. “Karena tak banyak potensi ekonomi di desa, banyak orang desa yang justru berani meninggalkan keluarga besar mereka untuk ‘bertarung’ hidup di kota, bahkan di luar negeri, sebagai TKI misalnya,” ujar Sundari.

Salah satu hasil penelitiannya di daerah pedesaan Gunung Kidul Yogyakarta, membuktikan hal itu. Pada tahun 2004, misalnya, penduduk Desa Gunung Kidul yang bekerja di kota atau luar negeri bisa menghasilkan remittance hingga 7 miliar rupiah untuk kampung halaman mereka. “Dari uang itu, mereka bisa membelikan tanah atau memperbaiki rumah orang tua mereka di desa. Dan, hal itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi orang tua dan keluarga mereka, bahkan bagi desa mereka,” ungkap Sundari.

Sebaliknya, orang kota yang biasanya dianggap memiliki ikatan kekeluargaan yang sudah lebih longgar dan lingkungannya menuntut kompetisi yang lebih tinggi, bisa saja justru menghasilkan anak-anak kidult. Karena, atas nama cinta atau kehormatan keluarga, orang tua selalu siap membantu setiap kali anak-anaknya mendapat kesulitan dalam menghadapi kerasnya kehidupan.

MASA KANAK-KANAK TAK SELESAI

Lantas, bagaimana seseorang bisa tumbuh menjadi kidult? Psikolog Lusia Ratrining Sari mencoba mengupasnya dari sudut teori psikologi perkembangan dari Erikson. Menurut Erikson, perjalanan seorang manusia mengarungi kehidupan dibagi dalam beberapa kelompok umur, dan setiap kelompok umur memiliki tugas perkembangannya sendiri.

Misalnya, tugas perkembangan seorang bayi antara lain tengkurap, merangkak, berdiri, berjalan, dan seterusnya. Tugas remaja antara lain mengenal konsep diri, mulai berkompromi dengan nilai-nilai yang ada di sekitarnya, mulai mengenal kehidupan sosial, dan sedikit demi sedikit meninggalkan atribut-atribut kekanakannya.

Saat mencapai usia dewasa, tugasnya pun berubah. Antara lain, memantapkan konsep diri, membangun kemandirian (karier, finansial, kepribadian), membangun keluarga, dan seterusnya. “Pada seorang kidult, sifat kanak-kanak yang seharusnya sudah selesai, ternyata masih berlangsung. Baik dari penampilan, emosional, maupun kepribadian. Antara lain, masih selalu membutuhkan dukungan dari orang tua (atau orang lain) dalam mengambil keputusan, kalau kemauannya ditolak langsung ngambek atau malah balik menyerang, enggan memikul tanggung jawab yang besar, dan sebagainya,” Lusi menjelaskan.

Ia menambahkan, sifat kidult tak ada kaitannya dengan inteligensi seseorang. Tak sedikit seorang kidult yang cerdas atau memiliki karier cemerlang. “Tak jarang, dia justru bisa membuat argumen-argumen pembenaran atau rasionalisasi bagi sifat-sifat kekanakannya.”

Perangai kidult ini, ujar Lusi lagi, bisa disebabkan oleh berbagai faktor: akibat pola asuh orang tua, pengaruh lingkungan, trauma masa lalu, struktur dasar kepribadian (personality) orang itu sendiri, atau semuanya. Namun, tak dapat disangkal, pola asuh orang tualah yang biasanya menyumbangkan peran paling besar.

“Setiap orang tua (termasuk juga pada hewan) pasti punya naluri alamiah untuk selalu melindungi anak-anak mereka dari marabahaya atau kesulitan. Apalagi, bila anaknya memiliki kondisi atau sejarah khusus, misalnya anak yang sudah lama ditunggu-tunggu kehadirannya, anak sulung, anak bungsu, atau anak yang semasa kecil pernah sakit keras. Apalagi, di Indonesia, di mana ikatan kekeluargaan relatif masih kuat. Rasanya, kita sering sekali mendengar para orang tua mengatakan, ‘Untuk apa lagi, sih, kita mencari uang, kalau bukan untuk anak-anak kita,’” ungkap Lusi.

Di lain pihak, tak sedikit orang tua yang ingin tetap merasa berarti bagi anak-anaknya. Karena itu, meski sang anak sudah dewasa dan berkeluarga, tak sedikit orang tua yang tetap ingin mengulurkan bantuan setiap kali anak-anaknya mengalami kesulitan. Dengan kata lain, tanpa sadar mereka terus menciptakan ketergantungan pada diri si anak.

Celakanya, tak sedikit pula orang tua yang semasa mudanya adalah ‘petarung hidup’, justru tidak mau mewariskan jiwa petarungnya kepada anak-anak mereka, dengan alasan, “Biarlah kami saja yang mengalami kepahitan hidup. Anak-anak jangan sampai mengalaminya juga.” Alhasil, banyak orang tua ‘petarung’ yang akhirnya justru menghasilkan anak-anak kidult yang manja.

Padahal, yang tak kalah penting diingat, segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang berlangsung abadi. Orang tua bisa sewaktu-waktu meninggal dunia, dan harta bisa ludes dalam sekejap. Pada saat-saat seperti itulah kemandirian seseorang menjadi sangat berperan.

Seperti kata sebuah iklan nii, menjadi tua memang nggak bisa dihindari, (tapi) menjadi dewasa, itu sebuah pilihan. “Memang, berapa pun usia kita, tak ada salahnya tetap memelihara jiwa muda, berusaha tetap awet muda, dan tetap memelihara sisi kekanakan dalam diri kita. Bagaimanapun, sesekali kita tetap membutuhkan semangat kanak-kanak agar bisa lebih fun menjalani kehidupan yang kian kompleks ini. Namun, sebaiknya kita tetap sadar dan tahu kapan saat yang tepat untuk menjadi dan bertindak sebagai orang dewasa,” Lusi menyarankan.
So, how bout you guys????? cumen lo yang bisa jawab... Ayo, jadi dewasa....                                 

Komentar

PIKADITA mengatakan…
wahh,, gw baru tau kalo istilahnya kidult,, nice info :)
Si Jejes mengatakan…
hahahhaa.. moga2 kita nggak kidult.. wkkwkwkw

Postingan Populer